Lanjut ke konten

PASAR HASIL PERTANIAN INDONESIA

22 Maret 2010

Jakarta, 23 Maret 2010. Saya percaya, kita semua perlu informasi pasar untuk produk-prduk pertanian dari dan ke kota-kota atau daerah yang membutuhkan. Memang Pasar Kramat Jati di Jakarta sangat besar suply dan demand-nya, namun infromasi awal belum banyak dikelola orang.

Atas dasar itulah saya memulai mengumpulkan informasi pasar walau untuk tahap awal ini masih sangat sedikit info yang berhasil dikumpulkan.

MIGRASI, MAS……..

22 Oktober 2008

MAAP Sodara.

Mulai hari ini Rabu, 22 Oktober 2008.  Blog saya dengan

alamat lama :  https://slametismulyanto.wordpress.com

sedikit demi sedikit akan pindah ke lokasi baru yang lebih strategis di

http://slametismulyanto.blogspot.com

Mengapa pindah?

1.  WordPress tdk bisa diakses kode HTML-nya.  Susah masangin Google Adsense.  Hehehe…

2.  Widget-nya terbatas.  Nggak bisa dibongkar pasang.

3.  Terus apa yak, biar ada penyegaran aja.

Maap atas ketidaknyamanan ini.

Slamet Ismulyanto

SYUKUR

15 Oktober 2008

Banyak cara dilakukan orang untuk bersyukur. Pergi bekerja dengan mengucap Bismillahirahmanirrahim dan pulang dari kantor pun berucap Alhamdulillah, bisa dilbiang bersyukur.

Dulu waktu masih jadi karyawan Matahari Dept. Store JP2, sebagai supervisor yang boleh dibilang “kritis”, banyak pramuniaga ngajak saya protes ke manajemen agar beberapa hak karyawan disetujui. Saya menolak bergabung. Alasannya: bagi saya kalo gaji kurang, nggak usah demo ke yang punya perusahaan. Apalagi memprovokasi teman. Bagi saya, demo bagusnya ke Allah: kenapa kita dapet sedikit. Padahal yang dilakukan banyak. Itu yang membedakan saya dengan banyak pendemo.

Saya dianggap “gendheng”. Hehehe….

Iya dong. Kan yang punya rejeki Allah, bukan James T. Riyadi. Dia kan kebagian mbagi aja, so nggak lucu kita protes ke manusia, langsung aja demo ke yang bikin manusia. Dia Maha Adil, Dia Maha Bijaksana juga Maha Bijaksini. Tadi temen saya Pak Azwir cerita, kalo dia hari minggu suka ngajak anak-anak kecil di kompleknya jalan-jalan ke sawah, main bola, berkemah dan diakhiri dengan makan mie rebus dan minum teh botolan. Saya percaya Pak Azwir ini orang yang walau katanya sholat nya bolong-bolong kayak sundelbolong, hehehe…tapi urusan sodakoh, dekne paling seneng. Apalagi ke anak kecil. Dia cerita kalo dengan caranya itu Allah hampir tak membuat kesempitan dalam hidupnya. Walau duit di kantong nggak banyak tapi hampir nggak ada juga yang ngutik, entah anak sakit, tetangga reseh atau apapun di “jalan” kehidupannya. Saya menganggapnya itu adalah tanda orang bersyukur.

Saya hanya bisa memahami syukur itu sebagai bahagia dan puas dengan apa yang diberikan Allah pada kita. Dapet gaji 500 ribu sebulan syukur. Lalu bila kita kerja dapat lagi yang agak gedean dikit 700 ribu sebulan, ya syukur lagi. Ojo ngamuk gak sesuai UMR DKI! Wong Allah maunya kita dapet cuma 700 ribu kok ngamuk. Jangan-jangan kalo kita sudah dapat gaji 2 juta sebulan, mulut kita masih minta lagi: biar Allah nambah jadi 10 juta sebulan.

Dasar manusia!

Emang untuk apa sih banyak gaji? Mau beli rumah, mobil, kontrakan 100 pintu, istri 4 biji dan anak sak ndayak?

Eleh-eleh… Dengan bersyukur Allah girang karena hambanya senang dengan berapapun rupiah yang Ia berikan. Jangan mo ngatur Allah, apalagi maksa. Iso-iso numplek wakulmu… Jadi kalo anda masih kekurangan harta, lihatlah apakah anda sudah bersyukur? Karena kalo anda lupa bersyukur, biasanya anda akan hidup dalam kekurangan mulu!

Sama. Seperti yang sedang dialami bangsa kita ini semua merasa serba kekurangan, karena mindset-nya gembel. Harusnya biar kita miskin, seperti yang dicontohkan Kanjeng Nabi, bersikaplah seolah-olah kaya: banyak sodakoh, lancarkan hajat hidup orang, dan bebaskan jiwamu dari kekerdilan, kekurangan dan jadilah pribadi yang melimpah, suka menolong orang, berkorban tanpa komitmen apapun pada manusia. Hanya pada Allah. Yah hanya Allah tujuan kita.

Bagaimana dengan Anda, Bos?

BUANG STRES ATAU BERBAGI

11 Oktober 2008

SAYA biasanya pengen nulis kalo memang pengen.  Nggak pengen, ya nggak nulis.  Karena kalo nggak pengen lalu nulis, wah, tulisan jadi aneh.  Lucunya style nulis saya nggak pake outline, alias apa yang muncul di kepala ya ditulis.  Dengan begitu saya nggak susah buat tulisan.  Ngalir aja kayak got.  Hehehehe…

Setelah nulis di blog ini, kepala saya jadi agak ringan, kayak habis di pijitin.  Begitulah sodara, aktivitas nulis jadi kayak pergi ke tukang pijet.  Gurih, kan?  Lagi pula kadang saya merasa “tua” lalu pengen berbagi pengalaman pada pembaca setia blog saya.  Ini yang agak rumit.  Wajah saya kata istri ,sudah mulai  menua, tapi semangat nulis kayak anak 20-an.

Iya.  Energi nulis kadang meluap-luap kayak Kali Brantas di Blitar yang bikin banjir.  Membanjiri kepala saya dan akhirnya sampai di depan sodara-sodara.  Waktu kecil saya gemar baca buku.  Buku apa saja saya lahap habis.  Tiap Sabtu saya pasti pinjem antara 2-3 buku untuk “makanan” saya di hari minggu.  Ya gitu.  Ibu saya paling nggak suka kalo hari minggu saya hanya tergolek di dipan atau jongkok di pojok rumah baca Man and the Sea-nya Ernest Hemingway  kadang Tenggelamnya Kapal Van der Wick-nya HAMKA atau di kali lain Pendekar Pulau Es-nya Kho Ping Ho.  Buku-buku begitu paling saya suka disamping tema-tema kepahlawanan jadul : Batman, Superman, dan Spiderman.

Bapak saya kan tentara, kopral pula.  Jadi beliau kalo pas libur biasanya bertukang, baiki pagar halaman, dan aneka pekerjaan laki-laki lainnya.  Kalao beliau nyuruh saya bantuin biasanya keluar kata-kata : ah…ngene ae nggak enthos, Le. (Gini aja nggak bisa, Nak). Karena saya sering luput mulu kalo Bapak minta pagar dipaku.

Response saya langsung ngabur ke kamar, tutup pintu dan: baca  buku.

Bapak paham anaknya sakit hati.  (Duh, smoga arwah bapak saya diringankan siksa kuburnya.  Beliau sudah meninggal tahun 2000).

Jadi baca buku sejak kecil membawa perspektip yang rumit di kepala saya.  Ditambah kegemaran lain saya yaitu dengerin siaran radio-radio luar negeri, seperti : NHK, VOA, BBC, RASI, Radio Mesir, Radio Rusia dll.  Klop-lah kerumitan isi kepala saya itu.

Waktu mahasiswa, tawaran jadi ketua Senat saya tolak tapi menjadi Redaktur Pelaksana dan penyiar radio saya terima.  Itu adalah obat bagi saya agar kepala saya bergairah.  Sampe-sampe waktu nyampe Jakarta tahun 1995 bulan Desember, nggak ada keinginan bekerja sesuai background saya di Perikanan tapi malah pengen jadi wartawan.

Sempat dipanggil SCTV 2x, Gatra 1x, dan Harian Neraca 1x, namun tak satupun berminat serius menjadikan saya sebagai wartawannya.  Akhirnya malah saya jadi tukang kebun di Museum Taman Prasasti Jakarta Pusat.   Untung saya cuman 6 bulan di situ  lalu dipanggil PT.Matahari Putra Prima, Tbk Pasar Baru sehingga insinyur tukang kebun berakhir bahagia.  Hehehe…

Begitulah sodara, mengapa saya sangat berenergi untuk nulis, karena emang ada background dan dendam kesumat : isi kepala ini  harus ditumpahin.  Betul-nggak?

Saya bukan type orang yang suka ngasih duit sebagai sedekah ke fakir-miskin.  Saya lebih suka bersedekah dengan nasehat dan tulisan.  Pernah di lampu merah seorang ibu nga-thung ke saya.  saya males nagsih.  Tapi kalo ada orang susah, saya malah suka ngasih dia.  Pengen ngasih tapi lantas jangan ditodong: ngathung!  Enggak gurih, tau.  Biarkan empati manusia bertemu tanpa paksaan dia harus melakukan jurus menengadahkan tangan dan saya sibuk nggerayang dompet.

Itu sebabnya di headline ini saya tulis buang stres atau berbagi.  Karena dengan nulis kedua topik tadi selesai dengan damai.

WAJAH KITA

10 Oktober 2008


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM.

RUMAH KITA adalah wajah spritual kita.  Bagaimana anda membangun rumah anda, itulah wajah anda.  Boleh jadi model bangunannya rancangan arsitek tertentu, tapi itu tetap mencerminkan wajah kita.  Bentuk rumah boleh anggun, tapi kalo pemiliknya hanya menerima ‘tamu-tamu’ yang anggun-anggun juga maka dapat dipastikan dia tidak menerima golongan yang nggak anggun.  Alias pilih-pilih wajah.

Hidup ini bukan hanya apa yang anda pikirkan, tetapi juga apa yang saya pikirkan, mereka pikirkan dan yang juga tidak kita pikirkan berjamaah.  Oleh karena itu wajar bila kebenaran hanya milik Allah.  Bukan milik saya, anda dan mereka.  Menurut anda wajah rumah anda yang paling yahud, disisi lain saya akan mengatakan hal serupa.  Belum lagi yang lain.  Jadi mari kita bersama melukisi dunia dengan aneka wajah yang indah.

Yah.  Hidup kita adalah wajah kita yang kita lukisi, kita cat-i, kita gores-i, dan kita nikmat-i bentuknya hingga saat ini.  Maksud saya adalah wajah kita adalah hasil perubahan dari waktu ke waktu, dialektika badan jasmani dengan rohani.  Kalo anda tidak ganteng, rohani berbisik: Mas…kita ini nggak ganteng loh!  Boleh saja anda narsis:  Nggak!  Kita ganteng kok!

Alah…nggak usah bohong, kok.  Kita tetep aja nggak ganteng.  Lalu berjalan dengan waktu wajah asli kita kolaborasi jasmani (bawaan orok) plus bisikan rohani bahwa kita nggak ganteng.  Jadilah pribadi yang khas:  kita nggak ganteng.  Banyak hal positip ketika Allah ‘menitipkan/menyewakan’ wajah laki-laki yang nggak ganteng.  Mau tahu?

Hehehe…

Sabar dong.  Diantaranya kita nggak bisa sombong, nggak bisa nyari pasangan yang terlalu ‘melip’ alias adoh, ya yang sedeng-sedeng saja.  Lalu wajah ganteng pasti nggak berani main-main dengan kesetiaan.  Udah nggak ganteng, nggak setia lagi!  Cuih.

Wajah nggak ganteng juga minim fitnah, nggak banyak dilirik kaum wanita.  Kecuali wanita yang pengen punya pasangan sejati.  Hihihi…

So, bergembiralah wahai ‘penyewa’ wajah nggak ganteng.  Konon di akherat, lebih banyak wajah laki-laki yang nggak ganteng yang berada di surga, dibanding dengan wajah ganteng.  Subhanallah.

Untuk ‘penyewa’ wajah ganteng hati-hati!  Kalo mismanagement, bisa berakhir sengsara walau awalnya dikejar dan diperebutkan banyak wanita.  Karena dibalik topeng gantengnya, tersembunyi rohani yang akut:  mudah buang pasangan,   ngomong yang nyakitin pasangan (biar bisa kawin lagi?), dan penderitaan batin lainnya (bagi pasangannya).

So bagaimana, rek, urip pisan ae kok susah.

Ya udah, hati-hati dengan seribu wajah kita yang kita pinjam dari Allah.  Jangan pake sembarangan apalagi untuk melawan Allah.  Audzubillahimindhalik…

Lalu apakah wajah kita gambaran dari wajah Allah?  Secara sufistik, betul.  Walau akan keliru Allah adalah gabungan dari wajah kita semua.  Terlalu naif, kesimpulan begitu.  Artinya Allah punya seribu wajah yang bila dititipkan pada manusia akan dipakai secara berbeda-beda.  Wajah pada orang yang sabar akan berakhir (meninggal) dengan wajah kesabaran disisi Allah.  Wajah orang yang mulia akan kembali kemuliaan itu pada Allah ketika dia mati.

Lalu bagaiamana dengan wajah orang yang sombong.  Kemanakah wajah sombongnya pergi?  Saya kira ke rumah raja genderuwo, kali.  Karena Allah tak menyukai wajah hambanya yang sombong.

Bagaimana dengan wajah Anda?

SPG, MUDIK, DAN REBUTAN…

28 September 2008

Gambar diatas adalah sekumpulan Sales Promotion Girl/Boy (SPG/B) yang bergaya di depan toko yang baru buka di salah satu pusat perbelanjaan di Medan Sumatera Utara. Wajahnya jelas sumringah menyiratkan semangat dan optimisme mereka menghadapi sale ramadhan dan lebaran.

Kunjungan saya ke Medan salah satunya adalah memanage toko exist dan toko yang baru buka dan bazar. Lokasi toko kami masuk dalam trafic yang padat pengunjung sehingga dalam waktu singkat berhasil menarik pengunjung belanja di situ.

Secara pribadi saya adalah pengagum SPG/B sejak lama. Dulu waktu masih sebagai karyawan Matahari Department Store Jakarta, saya punya banyak anak buah pramuniaga dan mengelola SPG/B. Iseng-iseng saya cerita ke sahabat saya, kalo nggak keburu kawin mungkin istri saya adalah seorang pramuniaga atau SPG karena saking seringnya bertemu, trisno jalaran soko nggelibet. Heehehe… Ini serius, saudara!

Dunia SPG adalah dunia wanita. 90 % mereka adalah wanita. Saya 3 tahun mengenal mereka baik pikiran, kegelisahan dan cita-cita mereka yang sederhana. Benar saja, begitu mereka kawin, sebagian besar mereka berhenti sebagai SPG. Pekerjaan SPG hanya bisa dilakoni dalam waktu singkat, artinya selama mereka masih keliatan muda saja. Tidak ada wanita diatas 30 tahun yg masih “beredar” sebagai SPG.

SPG berasal dari beragam background, anak tukang becak, sopir, tukang bangunan, tukang jamu, dan macam-macamlah. Hampir mustahil SPG berasal dari anak direktur, apalagi menteri. Tapi jangan ditanya komitnment mereka berdiri, pasti lebih lama dari pasukan jaga di berbagai markas militer negara manapun. Anda nggak percaya? Coba hitung, bila mereka berdiri sehari minimal 5 jam dengan masa kerja 5 tahun saja (1 thn = 26 x 12 – 12 cuti) , maka artinya mereka sudah berdiri selama 5 x (26×12-12)= 5 x 300 = 1500 x 5 = 7.500 jam! Itu baru kalo mereka kerja lima tahun, Bos. Ada kok yang 10 sampe 15 tahun masih awet dengan profesi mereka. Bayangkan. Tentara mana yang bisa ngalahin SPG berdiri.

Maka sangat tak berperikemanusiaan bila para juragan mereka nggak ngasih gaji yang layak menurut ukuran negara ini. Apalagi kalo lemburannya tidak dihitung. Waduh, runyam, yak?

Lalu hubungannya dengan mudik? Yah jelas, gimana bisa mudik kalo sebagian juragan mereka mengikat mereka supaya tetep jualan di hari raya1 dan 2. Wah, alamat seumur-umur nggak bakal bisa melihat macet di pertigaan Cikampek atau dasyatnya kemacetan di Patrol Indramayu.

Masih tentang mudik. Saya dan keluarga nggak mudik sudah 4 lebaran ini. Kesian ya? Bukan! Mudik bagi saya hanya kegiatan yg nggak asyik di jalan dan berakhir dengan zero. Kalo hanya silaturahmi bisa dilakukan kapan saja. Ibu saya dikampung juga sudah magfum dengan “kebandelan” anaknya yang nggak mau repot tiap lebaran mudik. Banyak waktu lain yang lebih rilek dan santai untuk bertemu ibu dan kawan-kawan di kampung.

Belum lagi sibuknya orang menyiapkan acara mudik. Motor di service, mobil masuk bengkel lalu berlomba dengan (maap, ed.) setan di jalan agar bisa punya space cukup untuk tancep gas se-polnya, biar cepet sampe di rumah.

Saya pernah rebutan tempat, gara-gara ngasih tempat ke ibu-ibu tua di kereta sapujagad, ujungnya malah dapet tempat di WC kereta. Berjam-jam berdiri dengan posisi dewa mabuk sampai akhirnya sampe di Malang dan turun dengan langkah sempoyongan! Pernah juga naik bis dan macet habis di Indramayu, untuk waktu yang lama.

Waktu agak kaya dulu, pernah mudik pake mobil kantor lewat pantura. Macet, Bo. Betis rasa ilang dari dengkul. Ih..! Saking capeknya injek, gas, injek lagi, gas lagi. Aaahh…capek.

Orang bilang capeknya terbayar ketika bertemu keluarga di rumah. Lha, kalo baliknya gimana? capeknya siapa yang bayar?

Saat tulisan ini dibuat, saya tengah berada di sebuah gudang sempit di sebuah toko di Medan dimana ribuan orang berbelanja, berebut buang uang, demi sesuatu yang sungguh absurd, kecuali perasaan kalo nggak belanja seakan nggak ikut lebaran. Bah!

Semoga Allah melindungi hati seperti hati saya yang memandang orang yang sedang belanja seperti semut yang lagi pesta roti di tengah lapangan yang luas. Semoga pula mereka yang nggak punya THR, nggak punya uang dan nggak punya apa-apa di lebaran kali ini, Allah memberi mereka dengan rejeki yang lebih dasyat: kesehatan dan kesabaran yang paripurna. Subhanallah….

BELANJA

21 September 2008

BELANJA. Pokoknya belanja, titik. Itulah ritual tahunan bangsa Indonesia mendekati Hari-H Lebaran. Gambar diatas diambil sekitar tgl 19 September 2008 di Plaza Medan Fair Medan, Sumatera Utara malam hari. Terlihat kerumunan orang belanja.

Di Jakarta apalagi. Termasuk di kota-kota kecil di seluruh penjuru tanah air. Semua mall atau pusat perbelanjaan kota kecil atawa besar sedang giat memanjakan konsumen untuk berbelanja. Tua muda, laki-bini, kecil besar semua tumplek blek belanja. Apa aja yang dijual pedagang diserbu pembeli. Target sales semua pedagang tampaknya akan tercapai memasuki bulan ramadhan ini.

Agak berbeda dengan saya. saya belum ‘belanja’ apapun itu. Alasannya sederhana, saya nggak butuh barang baru! baju masih banyak, celana masih antre untuk saya pake. Jadi ngapain belanja. Istri kemaren cerita kalo dia di Jakarta juga lagi tutup rapet dompet agar tidak belanja. Untuk tambahan naik haji, pah, begitu timpalnya.

Ya udah, selamat malam bapak-ibu pedagang!!! Untung nggak banyak orang kayak kami. Para pedagang bisa ‘cumi’ alias cuma mingkem! Hehehe…

Keramaian juga mulai bergeser dari mesjid-mesjid ke mall-mall. Lihatlahlah ibu-ibu dan remaja putri kita, 70-80 persen mall-mall di penuhi mereka. Para bapak dan cowok agak sedikit jumlahnya. Mungkin para bapak merasakan susahnya cari uang, jadi nggak tega ngeluarinnya. Beda dengan ibu ya? Pertama, mungkin nggak nyari jadi lebih mudah ngeluarinnya. Nggak pake feeling lagi! Hik..hik…Kedua, kalo juga ikut nyari maka itu duit seratus persen milik dia, suami nggak ikut minta.

Hasil akhir dari paniknya mbak-mbak belanja jelas ; tujuan THR jadi nggak produktip alias habis dalam beberapa kunjungan ke mall. Kedua, ibadah ramadhan jadi berantakan dikalahkan nyari baju di mall.

Duhai, ibu dan mbak-mbak…gimana dengan iktikaf-nya kalao pergi ke mall lebih bikin capek dari pergi ke malam-malam ganjil menyongsong lailatul khodar…, duhai bapak-bapak; masih tegakah dengan rengekan putra-putri untuk bersenang-senang di mall sementara tadarus jadi kesadaran sesaat, dan iktikaf jadi legenda.

Lalu bagaimana dengan mas-mas dan mbak-mbak yang nggak punya dan belum dapat THR. Idiiih! Semoga hati mereka dikuatkan Allah untuk tidak punya keinginan, toh setelah lebaran berlalu yang tersisa tinggal baju baru yang numpuk dan kantong yang jebol. Kerja lagi, kerja lagi. Subhanallah.

Dan bagi mas-mas, mbak-mbak, ibu-ibu dan bapak-bapak yang masih konsisten dengan keyakinan bahwa pertolongan Allah bagi mereka yang sabar dengan penuh ketaatan dan kesungguhan dalam malam-malam yang penuh berkah melakukan doa, iktikaf dan beribadah total; kepada mereka saya sampaikan selamat. dari merekalah mengalir keberkahan dan keteduhan bagi bumi dan langit yang bersama dalam tawaf berseru memuja keagungan Allah.

Kepada kafilah-kafilah pencari Tuhan, awali, isilah dan akhiri bulan penuh berkah ramadhan ini dengan kesucian doa. Karena merekalah Allah menunda bencana dan karena merekalah pula bumi masih tawaf mengelilingi Allah sampai saat ini.

BINJAI 1/2 LIMA

18 September 2008

TANGGAL 18 September 2008 adalah hari ke 13 saya di Medan. Siang tadi bareng Pak Viki Firdaus (IT) Ferry International Fashion, saya pergi kunjungan ke Binjai, kota 1/2 jam perjalanan dari Medan. Kalo anda belum pernah ke Binjai, bayangkan Binjai mirip kota Bangil di Jatim atau mungkin Sumedang di Jawa Barat. Binjai penghasil duku yg terkenal tapi tadi nggak ada duku tuh. Adanya semangka yang lonjong dan besar. Jalan kesana mungkin 25 km dari Medan dan relatip lancar.

Masih belum bisa bayangin Binjai?

Ya udah pikirkan tentang Mardi Lestari, atlit lari 100 meter putra dulu di era 90-an.

Sampai di Binjai Super Mall, disitu ada Matahari Dept Store, Hypermart, kami turun dan mulai bekerja. Mall ini tampak baru dan cantik. Nama besar Matahari jadi jaminan larisanya bisnis sektor ritel di Binjai Super Mall.

Daya tarik Binjai mungkin dari sektor perkebunan yang menjanjikan sehingga peritel sekelas Matahari berani investasi miliaran rupiah di sini. Habis bekerja saya pergi ke sebelah mall ini yaitu Mesjid Agung Binjai. Parkirannya enak, tapi tempat wudhunya agak jauh sehingga jalan dari tempat wudhu ke mesjid agak diragukan kesucianya. Smoga DKM-nya memikirkan ini untuk jangka panjang.

Kami meneruskan perjalanan balikke Medan jam 1/2 lima. Kira-kira 10 menit perjalanan, yang saya anggap mirip perjalanan mudik di sekitar Delanggu (mirip jalan di Delanggu), ada penumpang yang mo turun. lalu angkot bergerak lagi. Ada kubangan air dan di dekatnya ada orang naik sepeda motor berhenti di dekat kubangan. Angkot tetep melaju sehingga air kubangan nyemprot ke orang bawa sepeda motor. Kontan dia membalas meludahi angkot kami.

Dan brot…!! Titik ludah itu mengenai muka saya. Alhamdulillah, ya Allah. Mimpi apa semalam dapat air ludah gratis binti tanpa diundi ini. Berkali-kali saya mengucap istigfar; apa hikmah di balik ludah orang itu ya?

Yah! Allah melatih saya untuk menahan sabar di negeri Horas-bah ini.

Sambil becanda Pak Vicki bilang; Pak Slamet menikmati perjalanan ini ya…

Persis. Saya menikmati permainan yang datang dari Allah, apapun itu karena bukankah hidup hanya bermain-main di taman surga.

Masih satu tempat lagi yang saya rencanakan akan kami kunjungi yaitu Lubuk Pakam. Lubuk Pakam, kami datang…

MEDAN

15 September 2008

ADA seorang teman cerita, kalo ke Medan naik bis. lalu kita tak tahu udah sampe atao belum. Ngetesnya cuman keluarin tangan kita. kalo arloji ditangan kita raib, berarti sudah sampe Medan. Agak serem kedengarannya. Tapi perjalanan muhibah atas biaya dinas ini jauh dari cerita diatas. Saya pergi dari Jakarta tujuan Medan pake maskapai termurah di Indonesia Lion Air. Pesawat Airbus 737-900 ini mampu mengangkut sekitar 250 penumpang sekaligus tanpa merasa keberatan. Padahal di lambung pesawat masih dijejali dengan air cargo paling tidak lebih dari 2 ton.

2 jam di perjalanan tampak Medan indah dari udara. Kami landing pukul 15.30 wib dengan mulus. Walau para sopir taksi tampak hampir mirip dengan bandara Soetta, saya pake taksi bandara dengan tarif di tiket (nggak pake argo) Rp 45.000 tujuan carefour atau Medan Fair. Tau kalo tujuan agak jauh lagi. Sopirnya agak kasar ngganti gigi 1 ke gigi 2. Tapi over all sampailah kami di Medan Fair.

Yang agak mengejutkan adalah di lantai 5 yg juga dihuni oleh Carefour ini ada space yg cukup luas untuk masjid. Saya teringat di Jatinegara Plaza 2 Jaktim, lantai dasar ada juga space luas untuk masjid, tapi agak jarang yg seperti di Medan ini.

Denger-denger itu hasil perjuangan orang Aceh agar disediakan mesjid di Plaza Medan Fair. Subhanallah. Asyik juga kami kalo tiba waktu berbuka kemudian sholat Magrib. Ada acara berbuka puasa yang dananya dari uang titipan sandal dan sepatu lalu dijadikan kue untuk berbuka. Banyak sekali jamaah yg bergabung. Kerasa bener beruntungnya menjadi seorang Muslim.

Hari ketiga di Medan, mulai saya kangen ama istri. Manusiawi donk-ya nggak? Tapi kami sering berpisah karena pekerjaan. So Allah yang akan menjaganya dan menjaga saya juga.

Lalu lintas di Medan tentu lebih longgar di banding Jakarta. Saya tinggal di PWS (Pier Warga Siunda) selama di Medan. Sempat ngebut 3 jus baca Qur’an namun setelah itu cape nggak ketulungan. Kerjaku 12 jam sehari seminggu. Agak ketat dan naif tapi okelah.

Saya pikir di Medan saya akan ketemu wajah persegi pol 100%, ternyata salah! Banyak wajah-wajah ganteng dan manis seperti Jakarta. Mulai wajah orang Lampung, Nias, Jawa, Batak, India, Arab, Padang dll-dah. Orang batak sendiri banyak tinggal di Sibolga, Samosir dan lain-lain. Melayu lebih banyak di Medan. Muslim ternyata bejibun di kota Medan, serasa di Jakarta deh. Karena padatnya pekerjaan saya belum bisa menikmatii mie Aceh, indahnya Istana Maimun dan keelokan Toba.

Di Medan saya berpikir, kenapa Allah mengantarkan saya ke kesini? Kebetulankah atau ada hikmah terpendam. Ya Allah, ada kenikmatan mata melihat salah satu kota besarMU di Medan.

JALAN SUNYI

8 September 2008

LIFE begins fourthy. Hidup dimulai dari umur 40. Pas benar jalan sunyi yang dipilih oleh Gede Prama yang kita kenal sebagai Sang Penutur Kejernihan. Hidup yang hiruk pikuk membuat dia berkompromi dengan keadaan, pergilah ia ke Tajun, sebuah desa di Bali Utara. Jangan tanya saya, bagaimana repot dan perang batin yang dihadapi Gede saat berencana akan pindah dari metropolitan Jakarta ke desa kecil.

Kemapanan kadang menyilaukan istri dan anak-anak kita. Mereka adalah penumpang di biduk kehidupan kita. Tapi warna hidup yang kita pilih banyak dipengaruhi oleh kompromi dengan mereka. Jalan kompromi kadang bukan jalan ideal tapi harus ditempuh. Ini yang membuat kehidupan laki-laki menjadi lebih beradab. Lebih manusiawi.

Saya mulai mengerti mengapa dulu para kiai mendirikan pesantren di pelosok desa, bahkan di tepi gunung. Barangkali jalan sunyi juga yang ditempuh sehingga metode pengajaran yang diberikan para kiai kepada para santrinya lebih jernih, dan membumi. Terbayang bagaimana mudahnya transfer ilmu di saat pikiran jernih. Pemberi ilmu berpikiran jernih dan yang diberi ilmu berpikiran serupa. Dalam kejernihan setanpun jauh dari kita. Dalam salah satu hadist disebutkan Dalam ketergesa-gesaan, ada setan di dalamnya……..

Kalau anda tengah mudik atau jalan di tempat sunyi, apa yang terbayang dalam pikiran anda? Saya pernah mengalami pengalaman serupa. Hati dan pikiran kita menyatu, ada sedikit ketakutan, tapi kita yakin Allah yang melindungi kita, ketika jalan di jalan sunyi.

Di kehidupan kita yang sunyi, ada hasrat untuk memberi, berpartisipasi dalam kelompok yang membutuhkan kita dan selalu ada energi untuk berbagi. Jalan sunyi pasti bukan jalan orang banyak. Jalan sunyi adalah escapisme jiwa yang ingin keluar dari rutinitas, keajegan, yang tak tahu lagi kapan siang dan kapan malam.

Dulu para pendita (yang sudah lanjut usia) pasca menjadi raja mereka mencari kejernihan hati dengan menempuh perjalanan sunyi. Banyak juga tercatat para pencari kesunyian seperti Sunan kalijogo waktu muda, Nabi Muhammad pun sangat sering mencari jalan sunyi bahkan sebelum beliau berumur 40 tahun. Muda bukan? Yah usia tua-muda bukan ukuran baku, tapi jiwa. Jiwa yang terus mencari, mencari, dan mencari sesuatu.

Umur saya 40, pernah saya ngajak istri saya untuk berencana kembali ke desa, setelah 12 tahun di kota.

Apa dia bilang; pah, mama masih suka di Jakarta. !!??